Header Ads

Taktik Hebat Lee Kuan Yew Ubah Singapura saat Kas Negara Kosong Konflik Antaretnis dan Sampah Bertebaran

FOTO BUSINESSANDLEADERSHIP - Lee Kuan Yew muda saat mulai mengubah Singapura.



Mungkin tak banyak yang tahu bagaimana keras upaya Lee Kuan Yew membawa perubahan. Bayangkan saat ia jadi Perdana Menteri kas negara kosong, luas Singapura yang sempit tak bisa diandalkan untuk produksi beras, masyarakat jorok, konflik antaretnis dan Singapura tak memiliki pantai bagus. Kalau jadi Lee Kuan Yew apa yang kamu lakukan? Bingungkan.

KABARESOLO.COM - Siapa yang menyangka kalau Singapura yang kini memiliki tempat terbaik dalam hal medis dan surga belanja dulunya juga karut marut.

Singapura mungkin tak bisa seperti ini, negara kecil yang tak memiliki sumber daya alam juga tak memiliki pantai yang bagus, apa yang bisa diandalkan?

Butuh seorang change maker untuk mengatasi hal tersebut dan telah dibuktikan oleh Lee Kuan Yew.

Rhenald Kasali melalui bukunya berjudul 'CHANGE!' memaparkan bagaimana taktik hebat dan cerdas Lee Kuan Yew.

Apalagi modal Singapura hanyalah lokasi strategis diapit beberapa negara Asia dan luas Singapura hanya 400 kilometer persegi, kalau saja semua lapangan sepakbola diubah menjadi sawah pun tak bisa menyajikan beras untuk 40 ribu orang.

Kehebatan seorang Lee Kuan Yew diuji terutama pada tahun 1959 People's Action Party (PAP) pimpinan Lee Kuan Yew berhasil memenangkan pemilu saat itu di Singapura dengan menguasai 41 dari 53 kursi di parlemen.

Dalam paparannya Rhenal menuliskan bagaimana kondisi terpuruk saat Lee Kuan Yew diangkat jadi Perdana Menteri Singapura.

Lee Kuan Yew bahkan belum tahu apa yang harus dilakukan karena kondisi negara saat itu carut marut.

Kas negara kosong, penerapan hukum buruk, konflik antaretnis sering terjadi, masyarakatnya jorok dan sampah bertebaran di mana-mana.

Mirisnya lagi angka pengangguran mencapai 14 persen, sementara diketahui Singapura tak memiliki kekayaan alam.

Lalu Singapura tak memiliki pantai yang bagus, ditambah lagi dengan masyarakat yang saat itu masih jorok tentu saja membangun lini pariwisata tentu tak akan mudah.

Lee hanya memiliki impian dan beberapa orang pemikir, tak ada cara lain, Singapura harus berubah!

Saat itu Lee Kuan Yew memimpikan sebuah negara kecil yang bersih, disiplin, memegang kuat tradisi penghormatan pada orangtua dan tentu saja menjadi negara yang kaya.

Sama seperti orang kebanyakan Lee pun bertanya harus mulai dari mana?

Kalau negara tak bisa memberikan lapangan pekerjaan maka Singapura akan menjadi sasaran agitasi komunis.

Lalu dimulailah pekerjaan besar, Lee menugaskan Dr Goh Keng Swee merancang pembangunan ekonomi yang agresif.

Dalam buku 'CHANGE!' karya Rhenald Kasali ini dijelaskan Goh kemudian bertindak ia memilih lini industrialisasi untuk memulai.

Nah muncul persoalan, Singapura tak memiliki bahan baku, tak memiliki ketrampilan industri dan yang memalukan adalah tak memiliki pasar yang cukup besar.

Pilihan mereka adalah membangun common market dengan Malaysia tapi itu pun belum cukup!

Akhirnya ditempuhnya jalur lain untuk memajukan perekonomian.

Pemerintah Lee meminta bantuan PBB agar mengirimkan ahli ekonominya.

PBB pada tahun 1960 kemudian segera mengirim misi survei industrial yang dipimpin oleh Dr Albert Winsemius yang dibantu oleh pria keturunan China IF Tang.

Dengan bantuan keduanya Lee kemudian merumuskan strategi pembangunan ekonomi global yang berorientasi pada keunggulan daya saing dan produktivitas lewat pemerintah yang bersih, masyarakat yang disiplin dan industrialisasi yang dikawal tenaga-tenaga profesional.

Pemerintah Lee tidak anti asing maka setiap bangsa diperbolehkan turut mambangun Singapura asalkan benar-benar profesional.

Ada dua badan yang jadi andalan Lee saat itu yakni Housing Development Boar (HDB) dan Economic Development Board (EDB).

Meski demikian jalan tak selalu mulus ada saja halangan, pada saat perubahan mulai dilakukan banyak pihak yang tak siap.

Lee bahkan sering disebut sebagai salah satu diktator Asia dan anti-demokrasi, HAM dan kebebasan berserikat.

Ia memang sangatlah tegas.

Bagi orang yang membuang sampah sembarangan, melakukan vandalisme atau tidak tertib di jalan dikenai denda yang sangat besar.

Bahkan suatu waktu ada seorang remaja Amerika yang dihukum cambuk gara-gara melakukan vandalisme di Singapura.

Hal ini tentu menggemparkan Amerika tapi Lee tak goyah satu milimeter pun.

Ia pun membatasi ruang gerak pers dan mengendalikan oposisi.

Baginya semua harus berorientasi pada kedisiplinan dan satu kepemimpinan yang diwadahi oleh nilai-nilai Confucius.

Dipaparkan Rhenald Kasali dalam bukunya tersebut, di tahun 1990 saat sistem kesejahteraan sedang mengalami ujian serta ancaman kebangkrutan di Barat, pemerintah Singapura mengeluarkan Parents's Bill.

Sebuah UU yang kental dengan nilai-nilai Confucius.

Melalui UU ini orangtua memiliki hak untuk menuntut anak-anaknya kalau tidak merawat mereka di hari tuanya.

Dengan UU ini tentu saja para lansia tidak menjadi beban negara lantaran dirawat oleh anak-anak mereka.

Perubahan Lee tentu tak akan berhasil kalau hanya berfokus pada wacana politik dan nilai-nilai belaka.

Atas akar nilai-nilai ini Lee mamanggil para 'doer' untuk bergerak bebas mengeksekusi gagasan-gagasan kreatif mereka.

Dr Goh Keng Swee dengan dibantu oleh Dr Albert Winsemius dan IF Tang, mereka memiliki peran penting untuk mempercepat proses industrialisasi.

Saat mengangkat kepala perwakilan EDB di New York pada tahun 1960-an misalnya, mereka lebih memilih seorang top salesman dengan pengalaman bisnis, street smart, sabar, jujur dan pekerja keras ketimbang seorang birokrat, akademisi atau politisi yang biasa berkantor di ruang tertutup.

Pilihan mereka jatuh pada Chan Chin Bok, seorang mantan salesman mobil yang juga kolumnis bisnis.

Berkat bantuan Chan, Singapura menjalin kerjasama dengan produsen-produsen otomotif Detroit.

Ford misalnya memilih sebagai lokasi assembly part-nya di Asia setelah Singapura menjalin kerjasama dengan Malaysia dalam sebuah common market.

Namun kisah di balik hubungan Singapura- Malaysia dalam memperebutkan lokasi ini sungguh menarik.

Deal antara keduanya lebih merupakan business deal seperti pemain catur ketimbang pembicaraan antara dua orang negarawan.

Tentu saja itu berlaku di awal-awal, di tahap awal negara membutuhkan dua tangan sekaligus, yang satu pemikir (thinker) dan satu lagi tangan pelaku (doer).

Sekarang kedua-duanya menuntut kecerdasan intelektual.

Di masa jabatannya, Lee sangat konsisten menata pemerintahannya.

Dalam setiap tahap ia selalu merumuskan langkah-langkah konkret yang harus diambil para anggota kabinetnya.

Tak disangka, Singapura yang tak punya apa-apa sekarang malah menjadi salah satu negara terkaya di dunia.

Pada saat Lee melepas jabatan pada tahun 1990 GDP per kapita Singapura telah menjadi 14.000 USD dan masih bertumbuh.

Pada saat buku 'CHANGE!' dibuat dan tulisan ini diturunkan (2004) GDP per kapita sudah  menjadi 22.000 USD.

Lalu bagaimana dengan sekarang? Tak perlu ditanya langsung saja browsing dan cek, Anda tentu akan terpana.

Mengutip ceicdata.com angka PDB selalu meningkat dan hingga Maret 2018 ada di angka 86.955 USD bandingkan dengan titik terendah pada September 1975 yakni 1.413 USD.

Sekarang Singapura menjadi negara maju dan negara kaya sebagai negara dengan pusat kunjungan warga yang ingin berobat maupun belanja.

Bisakah Indonesia melampaui Singapura? Bisa dimulai dari kita sebagai warga penuh disiplin, memiliki etos kerja tinggi dan satu lagi menjaga ketertiban dan tidak membuang sampah sembarangan.

Dimulai dari itu dulu.

Inspiratif bukan. (*/KabareSolo.com)



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.