Header Ads

Mengintip Perjalanan Penuh Derita Aglaonema Asal Thailand Sampai ke Indonesia

DOK. KABARESOLO - Lipstik Siam Aurora merupakan salah satu Aglaonema silangan asal Thailand, dulunya juga mengalami perjalanan panjang tapi kini sudah banyak banget dibudidayakan di Tanah Air dan harganya menjadi sangat terjangkau karena barang berlimpah.


KABARESOLO.COM - Beberapa waktu lalu Indonesia 'kebanjiran' Kocin Suksom yakni Aglaonema hibrid asal Thailand, Selasa 6 Oktober 2020.

Saking banyaknya yang datang, timeline FB isinya penawaran Suksom dengan harga miring, kisaran harga di Rp 300 ribu sampai Rp 500 ribu.

Namun apa yang terjadi? Banyak orang menyampaikan kalau Suksom yang baru dibeli nggak sampai hitungan bulan hanya seminggu langsung mati.

Kenapa demikian, secara lengkap artikel telah ditulis di bawah ini.

BACA: Kenapa Baru Beli Aglaonema Suksom Seminggu Langsung Mati? Pahami Hal Ini

Sebagian besar pembeli tertarik dengan keindahan warna merah menyala tanpa mengetahui kerentanannya, apalagi iming-iming harga miring.

Terutama penawaran dari pengimpor atau pedagang yang ambil dari importir.

'Ayo silakan ambil ini baru datang, masih anget.'

Itu salah satu kalimat penawarannya, padahal justru ketika baru datang Aglaonema asal Thailand butuh waktu untuk adaptasi dan pemulihan setelah perjalanan.

Jangan tergiur harga murah karena baru saja impor dan belum melewati fase untuk adaptasi, pemulihan.

Maka tak heran Suksom yang sudah melewati fase tersebut apalagi kalau muncul anakan dan munculnya anakan setelah dirawat di Indonesia terbukti Suksom tersebut sudah bisa beradaptasi bahkan tumbuh dengan baik.

Anakan Suksom yang 'lahir' di Indonesia lebih dijamin kesehatannya, lebih tahan banting tak mudah sakit atau bahkan mati.

Biasanya Suksom yang telah melewati tanian lokal harganya lebih mahal.

PERJALANAN PENUH DERITA AGLAONEMA THAILAND

Sebenarnya bagaimana sih perjalanan Aglaonema asal Thailand hingga sampai ke Indonesia, sebuah buku mengupas hal ini.

Buku berjudul 'Panduan Praktis Perawatan Aglaonema' terbitan Agromedia ditulis oleh Kurniawan Junaedhie dalam salah satu halamannya mengupas bagaimana panjang dan deritanya Aglaonema.

Buku tersebut terbitan tahun 2006, meski sudah selisih 14 tahun gambaran perjalanan tersebut bisa jadi patokan dan masih relevan untuk kondisi saat ini.

Sebagian besar Aglaonema yang dibawa dari Thailand tanpa media, diambil dari pot dan dikemas dalam kardus berjumlah ribuan.

Biasanya menggunakan jasa kargo udara.

Bila tanaman dibeli di Bangkok, nasibnya lebi lumayan, tanaman tidak terlalu menderita, karena proses pencopotan dari pot, dibungkus dan dimasukka ke kardus hingga dikirim ke kargo di bandara Bangkok tidak terlalu lama.

Namun bila tanaman diambil dari kota-kota di luar Bangkok seperti Ayuthaya, yang jaraknya hampir 100 kilometer dari Bangkok akan memakan waktu 1,5 jam perjalanan, nasibnya lebih celaka.

Jarak Bangkok Jakarta bisa ditempuh dalam waktu dua jam, Bangkok ke Medan 1,5 jam, tetapi urusan administrasi kepabeanan sering menambah penderitaan Aglaonema.

Dibutuhkan waktu dua hingga tiga jam untuk mengeluarkan barang dari perut pesawat hingga sampai pada importir.

Setelah sampai tangan importir ribuan aglaonema langsung disebar ke pedagang grosir yang lokasinya hingga pelosok.

Bila dihitung sekitar 10 jam Aglaonema berada di dalam kardus tanpa menggunakan media sejak dikeluarkan dari pot pembibitan di Bangkok.

Usia Aglaonema itupun masih kecil, sudah tanpa media, rentan terkena penyakit, terkena bakteri, tanpa media, tidak mendapatkan udara hingga terguncang-guncang saat perjalanan.

Itu untuk jalur udara, bagaimana dengan jalur darat?

Jalur darat biasanya dilakukan untuk pengiriman dari Thailand menuju Medan.

Aglaonema dari Thailand awalnya diangkut ke Penang Malaysia, waktu tempuh sekitar 12 jam, belum termasuk waktu tunggu kendaraan.

Dari Penang, Aglaonema diangkut kembali dengan kapal ke Pelabuhan Belawan. Perjalanan di laut ini memakan waktu 6 jam, belum termasuk waktu tunggu kedatangan kapal pengangkut.

Dari Medan, barang dibagi-bagikan atau dijual kepada pedagang grosir dengan cara memilih atau dijatah, baru dari pedagang grosir disebarke seluruh penjuru Tanah Air.

Bisa dibayangkan bagaimana jauh dan berliku tanaman asal Thailand sampai ke Tanah Air, maka tak mengherankan kalau risiko besar tanaman mati.

Prosesnya adalah pemulihan pasca perjalanan, stres dan risiko penyakit, masih harus beradaptasi dengan cuaca di Indonesia.

Meski masih Asia dengan iklim yang mirip tetap saja harus beradaptasi.

Tak mengherankan Aglaonema asal Thailand yang berhasil di budidayakan di Indonesia memiliki nilai jual lebih tinggi apa lagi setelah berada di tangan kolektor atau penghobi serius yang merawat dengan penuh kesungguhan. (KabareSolo.com/Rimawan Prasetiyo)





Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.